Sabtu, 09 Juli 2016

Sekelebat Persoalan Mudik


Masih teringat jelas 3 tahun yang lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa salah satu Universitas kece di Pekanbaru - Riau.

Bukan tentang menjadi mahasiswanya. Ini tentang mudik saat masih menjadi mahasiswa.

Tiga tahun yang lalu (tahun 2013), saat mudik, saya dicecer pertanyaan "kapan wisuda" oleh nenek dan beberapa orang saudara yang (kelewat) peduli.

Pertanyaannya wajar. Sungguh. Tapi, bagi seorang mahasiwa tingkat akhir itu adalah sebentuk pertanyaan horor. Saya lebih milih mendapat dosen pembimbing yang killer ketimbang ditanyain melulu soal kapan wisuda.

Untuk hitung-hitungan waktu wisuda, saya termasuk kelompok mahasiswa telat diwisuda. Masuk tahun 2009 tamat 2014. Wow! Betah bener 5 tahun menimba ilmu? Engga juga sih.. Tentang keterlambatan, banyak hal yang menjadi faktornya.

Mudik 2014. Saya sudah menjadi Sarjana Ekonomi alias SE, dong.

Lagi-lagi ada pertanyaan yang saya sendiri sudah tahu akan ditanya seperti itu. "Sudah dapat kerja?" Tenang.. Jawabannya sudah saya persiapkan, kok. "Saya masih ingin santai dulu sebelum kerja". Ok ngga tuh ngelesnya?

Mudik 2015. Sudah jadi sarjana dan sudah kerja.

Waini! Seolah tak bosan bertanya, atau memang mudik itu syarak akan pertanyaan yang harus dijawab pasti.  Pertanyaan yang (mungkin) semua orang dengar setelah menjadi sarjana dan sudah mendapat pekerjaan, "sudah ada calon?".

Waktu itu saya sudah punya pacar, tapi belum pantas disebut calon. Anggap saja calon, jadi pertanyaan saudara-saudara sekalian saya jawab dengan "sudah". Selesai.

Mudik 2016. Tahun ini dong?

Ya. Mudik kali ini lebih berisik. Bukan lagi pertanyaan, melainkan tawaran. Tawaran apa? Cekidot..

Katanya begini "kok utak alah santiang, kok karajo alah elok, kok umur alah cukuik". Saya terjemahkan "otaknya udah pintar (secara sarjana), kerjanya udah bagus (bagi orang kampung kerja di Ibu Kota itu gajinya besar -- amin), umur juga udah cukup (untuk berumahtangga)"

Lalu pertanyaannya "kapan nikah?"

(Tarik nafas dalam-dalam, keluarkan perlahan) huuufftt! Saya belum siap untuk pertanyaan tersebut. Kali ini saya mudik dalam keadaan single a.k.a jomblo, jelas high quality jomblo.

"Jodohnya belum kelihatan". Ngejawabnya sambil mesem-mesem lho. Dan mulailah tawaran demi tawaran diutarakan.

Sepupu ibu saya -- biasa disapa Bundo, memulai cerita saat saya dan keluarga bersilaturahmi kerumahnya. Ketika saya membantunya menyiapkan soto untuk dihidangkan, dengan hati-hati Bundo bertanya perihal siapa lelaki yang sedang dekat dengan saya. Untuk saat ini saya memang ada dikenalkan dengan seorang lelaki, belum beranjak statusnya dari pertemanan.

Bundo kembali bercerita mengenai sepupu saya yang seorang dokter bersuami seorang Akabri. Suami sepupu saya mempunyai seorang teman yang sedang mencari jodoh (dia ingin cari yang bersuku minang). Katanya sih gitu.

Bagi saya tidak ada masalah soal jodoh menjodohkan. Masalahnya adalah jika saya cocok, apakah dia juga sepaham dengan saya? Atau sebaliknya, jika dia cocok, apakah hati saya demikian kepadanya?

Kali ini saya ditutut harus bijak. Bijak dalam artian, sebelum mengiyakan yang saya tidak tahu kedepannya bagaimana, lebih baik saya jawab "boleh, tapi kasih waktu untuk saling kenal terlebih dahulu".

Bagi orang-orang di kampung, wanita berumur 25 tahun sudah masuk kategori wanita telat menikah. Jujur. Saat ini saya belum begitu peduli. Bukan tidak mau, jika diberi jodoh, saya tidak akan menunda. Tidak peduli yang saya maksud, jodoh bukan hal seberapa cepat (umur berapa) tapi seberapa tepat (dengan siapa).

Mudik dan sekelebat pertanyaannya punya kesan tersendiri. Saya anggap tiap pertanyaan adalah sebentuk kepedulian yang bermuara pada doa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar