Rabu, 29 Juni 2016

Planet Asing Itu GTA



Bukan Grand Theft Auto, lho.. Bukan!

GTA nama perusahaan tempat gue kerja. Ngga terasa sudah hampir 7 bulan gue kerja disini, terhitung tanggal 1 Desember 2015. Wah.. Time flies so fast!

GTA merupakan perusahaan IT solution, yang didalamnya ada sekumpulan manusia super aneh dengan beragam sifat dan berjuta kebaikan.

Disini gue akan bercerita tentang manusia di planet GTA, sangat beragam dan penuh kelucuan yang menggelitik. Cara bicara dan tingkah laku yang bervariasi.

Mari kita mulai dari yang paling berkuasa.

Pertama. DJ, singkatan nama bos gue. Doi owner sekaligus direktur. Bos super baik yang tidak mau mendengar kata "tidak bisa".

Saat tim technical mengatakan tidak bisa menyelesaikan suatu pekerjaan;

"Kenapa ngga bisa? Pokoknya, harus bisa!" -- ini udah harga mati.

Saat karyawan melakukan kesalahan;

"Aduuuuuuhhhhhhh" -- satu kata horor ini jangan sampai pernah terucap, karena ini bentuk kemurkaannya.

Kalau di chat, nulis aja jadi aza;

"Dhea, kiriman dari Singapore kalau belum diantar, kita aza yang pick up" -- coba lihat keyboard, antara Z dan J itu jauh banget jaraknya. Ini doi kegaulan apa gue yang kuper.

Gue pikir DJ adalah jelmaan malaikat yang hidupnya jauh dari kata salah. Eits! Ternyata doi manusia biasa yang juga pernah lupa. Gue saksi hidup atas kelupaannya membayar tagihan internet perusahaan. Pagi-pagi saat akan mengakses internet, se-planet GTA berisik karena tidak bisa menggunakan internet. Terang aja berisik, diibaratkan internet itu bahan bakarnya perusahaan, kalau internet mati perusahaan ngga bisa operasional. 


Gue bertanya via WhatsApp, karena pada hari itu DJ sedang berada di Singapore.

"Pak, jaringan internet mati. Tagihan bulan ini sudah dibayar belum, ya?"

"Waduuhh... Saya lupa, baik akan segera saya bayar" -- lha.. bisa lupa juga? 

Kedua. Big J, direktur bagian penjualan yang badannya bak raksasa tapi hati baik seangkasa. Big J itu bos, tapi tau menempatkan diri. Kadang memposisikan diri sebagai teman. Gue dan Bella (nanti kita bahas siapa dia) sering sharing bareng doi pas jam istirahat. Segala macam pembahasan, mulai dari cerita keluarga, kesehatan, politik, bahkan seks -- jarang-jarang lho bisa bahas seks dengan atasan, hehe.


Kalimat Big J yang gue ingat banget, ketika karyawan salah;

"hmmm (ekspresi wajib) Dhea, kamu kurang teliti, lain kali perhatikan benar-benar" -- gue udah 3x ditegur menggunakan kalimat begini.

Ketiga. Tim Marketing Executive ada dua orang, Pak Fredy dan Bella.

Pak Fredy a.k.a "Pak Botak" sesuai dengan keadaan rambutnya yang malu-malu untuk tumbuh. Terkadang pak Botak suka lupa dengan usianya saat ini, setiap ngobrol ada aja banyolannya yang minta ditertawakan.

Saat gue menawarkan untuk tukar duit THR;

"Pak, mau ikutan tukar duit ngga? Lumayan lho untuk THR bocah-bocah"

"Boleh, itu kira-kira kalau total tukarinnya 2M bisa ngga?" (dengan nada datar muka tanpa dosa)

"Siyaal, songong!"

"Lah emang! Kudu sombong dulu" -- (lah emang) itu kalimat andalan doi.

Bella. Gadis belia nan cantik dan pekerja keras, masih muda tapi dituakan keadaan. Gue ngga paham lagi sebutan apa yang pantas untuk doi. Selain rekan kerja, mungkin paling pantas disebut teman hidup -- satu atap, satu tempat kerja, sepermainan. Kalau di kantor kerjaan doi otak-atik laptop, sampai akhirnya menemukan sesuatu yang harus ditunjukkan ke gue.

"Dhea... Sini deh" -- sekat ruangan memisahkan, dan doi ngga tau kalau kerjaan gue lagi banyak-banyaknya pas doi manggil.

(dengan rela tak rela gue samperin keruangannya)

Keempat. Tim technical ada 3 orang, mas Ferdya, mas Tayeb, ko Amir.

Mas Ferdya. Doi supervisor bagian technical. Paling sering naik ke lantai 2 karena dipanggil DJ. Tiap lewat di depan desk gue ada aja ocehannya yang gue dengar.

"Pusing gue de", "Toilet dulu lah sebelum masuk ruangan DJ, bakal lama nih pasti" -- tiap mau dikeramasin DJ.

Dan yang sering gue dengar saat jam istirahat;

"De, yuk kantin, lu bawa bekal mulu ah"

Mas Tayeb. Sebenernya jarang komunikasi, technical yang satu ini serba bisa, jarang dikantor karena sering dibawa-bawa untuk nyelesaikan project klien. Tiap nyebut nama gue pasti selalu digabung antara mba dan Dhea nya.

"mbadhea, gue minta tolong dibikinin surat keterangan kerja dong"

Ko Amir. Doi bukan cina, lho. Ngga tau pasti kenapa bisa dipanggil "ko", padahal wajahnya jawa banget, lebih pantas dipanggil "aki" menurut gue, karena usianya yang ngga bisa dibilang muda sih, hehe.

Ko Amir itu aneh atau lucu ya? Coba deh banyangin; Sebelum masuk ke ruangan gue, doi wajib nempelin pipinya ke pintu (pintunya full kaca) sambil melihat-lihat situasi (ngga tau situasi apa) setelah itu masuk. Ketika gue minta tolong sesuatu, jawabannya pasti "wani piro" -- edan. Bener sih, kita lagi pada zaman apa-apa duit.

Kelima. Tim programer ada 4 orang, diantaranya mas Arip "gondrong", Taufik, Salman dan Fauzi.

Mas Arip a.k.a mas Gondrong sesuai dengan rambutnya yang panjang layaknya wanita. Doi baru diangkat menjadi supervisor bagian programer. Untuk seorang laki-laki doi terlalu irit bicara, atau memang cool, atau misterius, terserah dia deh. Kalau ngomong juga kadang suka bikin emosi jiwa, suara doi kecil banget.

Taufik. Huufft... Programer satu ini selain suka bikin rusuh bisanya apa ya? Kerjaan doi youtube-an, line-an (di pc), naik turun lantai 3 (untuk pup atau buang air kecil), sesekali di lantai 2 (kalau DJ udah keluar kantor). Kalau ngobrol suaranya ngga bisa santai, pasti menggunakan full volume.

(setengah berteriak)

"Dhea.. bukti potong pph 21 gue mana? Parah banget (kata-kata khas) pajak gue ngga di follow up" -- seribu kali ketemu, seribu kali pula gue dengar kalimat ini.

Salman dan Fauzi. Yang satu pria gemuk yang satunya cungkring. Kenapa gue gabung dua orang ini? Karena mereka karyawan baru, gue minim komunikasi. Belum bisa mendeskripsikan terlalu banyak tentang dua manusia ini. Tapi, sejauh pantauan gue, mereka bersahabat, sih.

Nahh...

Keenam. GTA itu punya orang-orang baik yang sangat mendukung operasional kantor. Mereka adalah Pak Nur (supir DJ), Pak Miftah (Supir Kantor), Heru (Kurir). Selain sering berada diluar kantor (untuk tugas luar kantor), mereka juga turut serta dalam pekerjaan di dalam kantor. Pokoknya mereka semua serba bisa dan serba mau deh.

Tidak berniat membandingkan antara kantor gue dan kantor-kantor lainnya. Disini, walaupun lingkungan kantor, kekeluargaannya masih berasa, toleransi antara atasan dan bawahan atau antar sesama karyawan sangat tinggi. Tidak ada seseorang atau sekelompok orang (yang berkuasa), yang ada hanyalah sebuah tim yang punya satu tujuan yaitu menjadikan perusahaan berkembang secara sempurna, sehingga mendatangkan income yang sempurna pula.

Selasa, 28 Juni 2016

22.37 Mas..

Apa kabar?

Kemana saja?

Beberapa hari ini ada apa?

Kamu baik-baik saja, kan?

Kangen aku ngga?

Kok, ngga cari aku?

Aku nungguin kamu, lho..

Kamu bosan, ya?

Kapan akan temui aku?

Ah...!

Mau bertanya seperti ini? Percuma!

Kamu siapa? Aku sadar diri bukan siapa-siapamu. Hadirku layaknya sebuah lilin, tak ada pun tak mengapa. Aku bahkan rela terbakar karenamu, kamu tak tahu, bahkan tak mau tahu. Karena bagimu penerang bukan hanya lilin.

Kesalahanku atas ketidakpandaian mengelola hati, terlalu muluk akan pinta. Menjadi bagian terpenting adalah mustahil. Jangankan untuk menjadi nyata, bermimpi saja sulit rasanya.

Mas..

Aku kepayahan melangkahkan kaki, berharap kamu bisa menuntun, mempercepat langkahku, menjauhimu.

Mas..

Aku menyerah, kali ini...

Sabtu, 25 Juni 2016

Seperti Hujan..

Malam ini dibawah cahaya temaram, ditemani rintik hujan yang semakin deras, menunggu kabar darimu. Sudah berapa hari kita tak tegur sapa layaknya sepasang kekasih yang enggan memberi kabar satu sama lain? Hmm..

Kesibukan membuat kita sedikit berjarak, kamu bertanggungjawab atas pekerjaanmu, begitupun aku. Ini akan jadi minggu tersibuk bagi kita, aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum cuti lebaran, sementara kamu masih berkutat dengan deadline.

Satu kota, tak sering tatap muka. Tak apa. Ketika jadwalnya bertemu, digagalkan oleh beberapa hal. Sudah biasa.

Dan minggu tersibuk ini membuat kita saling tak peduli. Bukan tak peduli dalam artian sebenarnya, hanya saja kita terlalu fokus pada kegiatan masing-masing. Kamu mulai jarang membalas pesan singkatku. Aku mengerti akan kesibukan itu, lalu memilih diam dan berharap kamu segera membalasnya. 

Tapi apa hasil dari penantian bodoh ini? Jari-jarimu menjadi saksi tiap ketikan pesan singkat yang kamu kirim kepadaku. Anggapanmu bahwa aku hampir tak pernah mencarimu untuk menanyakan kabar. What? Haruskah aku menjadi posesif kali ini? Aku ingatkan, kita tidak sedang terlibat asmara, kang mas.

Layaknya hujan. Saat ingin, ia turun dengan derasnya, saat semesta menanti-nanti, ia diam seolah tak tahu apa-apa. Kamu ingin aku mencari, sementara kamu seolah tak ingin dicari, beritahu aku hal apa yang pantas dilakukan selain menunggu? Aku wanita, menunggu tak sebecanda itu. Bukan egois, perkara mencari-cari, sudah pasti wanita urutan teratas untuk sekedar ingin tahu kabar seseorang yang dianggap berarti. SETUJU? Harus!

Hubungan macam apa yang sedang kita jalin. Entahlah. Ada rasa yang membuat kita bertemu dimuara yang kita sebut 'kenyamanan'. Lagi-lagi aku ingatkan, kita bukan sepasang kekasih.

Rabu, 22 Juni 2016

Teruntuk ibundaku, ibunda sahabatku dan ibunda-ibunda lainnya..

Tepat pukul 02.22 dini hari handphone saya berdering, panggilan masuk dari sahabat saya yang tak sempat terangkat, Anna. Pukul 02.10 saya sudah terbangun karena ingin ke kamar kecil. Selang tiga puluh menit, tepat pukul 02.52 handphone saya berdering kembali. Panggilan masuk dari sahabat saya yang lain, Mey. Perasaan saya tak enak, kenapa dalam satu jam dua sahabat saya menelepon. Panggilan dari Mey pun saya jawab, awalnya dia hanya bertanya apakah dihubungi oleh Anna. Ya, saya ditelepon tapi tidak terjawab. Mey menyarankan untuk menelepon Anna kembali.

Sebelumnya saya juga sempat berkomunikasi dengan Anna via Line, kemarin siang, menanyakan keadaan ibundanya yang sedang dirawat karena penyakit yang telah diderita beberapa tahun belakangan. Diabetes berhasil melemahkan ibunda kuat ini. Kabar terakhir, Anna mengatakan kondisi ibundanya melemah, gula darah rendah, dan sedang berada di ruang ICU.

Apakah ada sesuatu dengan ibunda Anna? Saya bertanya kepada Mey saat masih komunikasi via telepon. Ya, ibunda Anna telah berpulang, jawabnya singkat. Seketika saya termenung, antara percaya dan tidak percaya, lalu memutuskan untuk menghubungi Anna.

Saat menghubungi Anna, yang saya dengar hanya suara jeritan, isak tangis dan kata maaf dari seorang anak yang ditinggalkan ibunda terkasih untuk selama-lamanya.

"Dhea.. mama udah ngga ada lagi, maafin mama"

Kata-kata apa yang layak saya katakan? Tak bisa berkata banyak. Saat itu saya cuma bisa berkata "sabar dan yang kuat". Sudah pasti kata-kata itu tak menolong. Mungkin tidak seluluh lantak hati Anna saat ini, tapi cukup membuat hati saya hampa mendengar berita kepergian ibunda Anna yang sudah saya anggap seperti ibunda sendiri. Ya, kedekatan saya dan ibunda Anna sudah terjalin sejak saya Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Percaya atau tidak percaya, mimpi saya tadi malam mungkin sebuah pertanda. Anggaplah hanya sebuah kebetulan -- terserah yang beranggapan. Bagi saya ini karena hubungan baik antara saya dan ibunda Anna, lantaran saya juga dianggap seperti anak sendiri. Sehingga ada semacam 'kontak' yang terjadi pada saya malam tadi.

Saya bermimpi ikut sholat sunah Tarawih yang harusnya hanya ada satu kali takbir, dalam mimpi menjadi empat kali takbir. Tak berniat mengaitkan, saat itu juga saya terbangun tanpa ada perasaan apa-apa sampai akhirnya mendapat kabar kepergian ibunda Anna.

Teruntuk ibundaku, mama tersayang..

Semoga mama selalu diberi kesehatan oleh-Nya. Jujur saya belum siap apabila keadaan yang dialami Anna akan saya alami juga. Mama adalah perpanjangan tangan Tuhan dalam proses kehidupan saya, yang dengan sabar memberikan bimbingan dan kebaikan. Jika lelah pada suatu hal, tolong istirahat sejenak, tak usah memaksakan, ada saya dan anak-anak mama yang lain, yang bisa menggantian kelelahan itu. Saya ingin menjadi salah satu alasan dari berjuta alasan terkait kebahagiaan mama.

Terimakasih mama..

Teruntuk ibunda sahabatku (yang sudah seperti ibunda sendiri)..

Betapa pilu bila mengingat kembali saat itu, saat mama sekedar bertanya "sudah makan?" atau pesan-pesan singkat "jangan buru-buru nikah, nanti seperti dia (menunjuk pasangan yang menikah muda dengan hidup yang bisa dibilang (maaf) prihatin), nikmati dulu masa muda untuk senang-senang.

Raga mama memang sudah tak bersama kami lagi, tapi satu hal yang pasti, disini (hati kami) akan selalu ada mama dan tak akan tergantikan oleh siapapun. Maafkan saya yang tidak bisa melihat mama untuk terakhir kalinya. Istirahat dengan damai disana ya, ma..

Teruntuk ibunda-ibunda lainnya..

Saya sadar, kelak juga akan menjadi ibunda hebat seperti kalian, yang akan menjadi pondasi dalam mendirikan rumah tangga. Tanpa ibunda hebat, tidak akan terlahir anak-anak luar biasa, tidak akan tercipta keluarga harmonis.

Percayalah, menjadi seorang ibunda adalah anugerah luar biasa dari Yang Maha Kuasa. Manusia super yang dapat melakukan banyak hal. Melalui tangan ibunda, dengan segenap kasih sayang tulusnya lah kita semua dapat berproses secara sempurna di dunia ini.. ;)



Senin, 20 Juni 2016

Puasa bukan alasan untuk tak makan disiang hari


Dari judulnya bukan berniat menentang salah satu peraturan daerah yang sedang ramai diperbincangkan, lho.

Pedagang warung tegalan (warteg) yang dirazia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) akibat tidak taat pada peraturan daerah -- berjualan pada siang hari di bulan Ramadhan. Mengundang banyak polemik, mulai dari toleransi antar umat beragama, dikaitkan dengan politik lah, dan yang ngga kalah mengejutkan baru-baru ini tersiar kabar bahwa ibu-ibu warteg itu merupakan istri dari seorang bandar judi yang mempunyai tiga buah warteg yang tersebar dibeberapa daerah dan juga sebuah mobil mewah. Iki piye ceritane..

Ya udah lah yaa, beda kepala pasti beda pemikiran. Setiap orang bebas menilai, kok. 

Minggu siang yang mendung. 

Hari ini saya ngga puasa, ngga ada unsur kesengajaan, karena saya terlahir sebagai wanita, anggap saja ini dispensasi. Titik.

Dari Parung menuju Bogor, Botani Square pilihan untuk makan siang. Saya fikir akan sepi, ternyata dugaan saya salah. Dari pintu masuk sudah terlihat kerumunan manusia diantara stand bazar di lantai dasar. Sempat tergoda dengan diskon-diskon yang ditawarkan. Ah ingat! Kesini untuk makan, urusan perut jangan main-main.

Dari lantai dasar menggunakan lift menuju lantai paling atas. Saat keluar lift, terlihat kain berwarna orange digantung guna menutupi tiap tenant yang berjualan makanan. Pun ditutupi, beberapa orang dengan bodoh amat menikmati jajanan mereka sambil berjalan dan bersenda gurau dengan kerabat, tak ada pengaruh yang berarti antara ditutup atau tidak ditutup. Puasa bukan alasan untuk tidak makan disiang hari -- bagi yang ngga berpuasa, ya.

Masuk ke area food court, ternyata disini suasananya lebih hidup, tempat duduk sudah dipenuhi orang-orang. Sejenak saya berfikir, apakah toleransi antar umat beragama, seperti yang diatur dalam peraturan daerah terkait tidak berlaku pada pusat perbelanjaan yang 'wah', sebut saja mall. Anggap saja berlaku, apa mungkin orang-orang yang berada di food court saat itu, termasuk saya, akan diberi hukuman push up, bila Satpol PP merazia? Mungkin hanya karung beras yang dapat menampung makanan yang akan disita, bayangkan saja berapa banyaknya tenant yang berjualan di area food court. Barangkali peraturan daerah hanya sebatas warung tegalan, atau ada toleransi khusus untuk yang berjualan di mall.

Sebenarnya toleransi itu apa ya?

Kalau kata mba Wiki, toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Sederhanakan saja, jangan jadikan toleransi sebagai tameng untuk saling menyalahkan.

Perkara ada unsur politik dalam cerita sedih si ibu warteg atau sebenarnya ia kaya raya karena seorang istri dari si bandar judi. Itu urusan dia dan Tuhan. Cukup menunjukkan kepedulian, selanjutnya biar Tuhan yang menentukan. Sesederhana itulah kira-kira.




Sabtu, 18 Juni 2016

Ramadhan 1437 H dan Ibu Kota

Hari ini 12 Ramadhan 1437 H, lebih kurang 224 hari saya berada di Ibu kota. Tanggal 2 November 2015, saya mengambil langkah panjang meninggalkan kota kelahiran menuju ibu kota, dengan tujuan mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion. Berbekal ilmu yang cukup serta dukungan orang terkasih -- keluarga, harapan yang besar, akhirnya saya diterima pada salah satu perusahaan IT sebagai karyawan bagian keuangan.

Ini kali pertama melewati Ramadhan jauh dari keluarga, rumah, dan teman-teman. Keluar dari comfort zone bukan perkara gampang. Tahun lalu saya masih merasakan euphoria Ramadhan bersama keluarga dan teman-teman. Bangun dini hari untuk santap sahur bersama keluarga, dengan mata sayu dan mulut tak henti menguap, menyantap hidangan sederhana dengan lahap. Atau berkoordinasi dengan teman-teman, menetapkan hari dan tempat untuk buka puasa bersama, sembari reunian.

Hmm... 

Tahun ini penuh sensasi dan tantangan, di kota yang tak pernah tidur. Menarik.

1 Ramadhan dikalender Hijriah, hari Senin dikalender Masehi -- Indonesia. Menandakan Senin dini hari adalah sahur pertama untuk umat muslim yang menjalanjkan ibadah puasa di Indonesia. Karena pada tiap akhir pekan saya selalu ke Parung, rumah pakwo -- panggilan untuk kakak laki-laki dari ibu, saya putuskan untuk santap sahur pertama disini. Tidak terlalu buruk untuk awal Ramadhan, saya masih merasakan kehangatan keluarga, hehe.

(Kembali ke Ibu Kota)

Senin yang malas, untuk puasa pertama yang harusnya dilalui dengan semangat. Ya, dengan perjuangan menahan kantuk, melewati Senin dengan bekerja. Biasanya usai kerja pukul 17.00, selama Ramadhan saya pulang 30 menit lebih awal, dikarenakan harus menyiapkan makanan untuk berbuka. Jangan coba-coba jajan sembarangan di Jakarta, alih-alih ingin makan enak dan tak mau repot, malah penyakit yang didapat. Jangan.

Melakukan rutinitas yang sama dari Senin hingga Jumat. Bangun pukul 03.00 untuk santap sahur, tidur beberapa jam setelah subuh, bangun kembali dan bersiap untuk kerja, pulang kerja lalu berbuka, terakhir tidur, sesekali bila ingin menikmati jalanan ibu kota dimalam hari. Sekedar duduk sambil bercerita di taman kota, atau mencari sesuatu untuk dibeli.

Jumat adalah hari yang paling dinanti, tak sabar ingin kembali ke Parung. Guna menghindari arus padat jalanan ibu kota, saya pulang kerja lebih awal, yakni pukul 15.30, agar bisa bersiap dan berangkat pukul 16.00.

Kosan saya di daerah Kebon Jeruk Jakarta Barat. Menuju ke Parung, saya harus melewati beberapa daerah rawan macet seperti Jalan Panjang, Permata Hijau, Pondok Indah Mal, Lebak Bulus, dan Ciputat. That's a really fabulous trip! Harusnya untuk jarak tempuh 36 km hanya butuh waktu lebih kurang 1 jam, kenyataannya ditempuh dalam waktu 2 jam 45 menit. Ini ukurannya menggunakan sepeda motor lho.. Bayangkan aja jika menggunakan mobil.

Ya, saya lebih sering ke Parung menggunakan sepeda motor. Bersama teman satu kos saya, Bella. Menjadi veteran jalanan adalah hal biasa bagi kami. 

Waktu menunjukkan pukul 16.40, tak ada Jakarta yang tak macet. Betul! Kami masih berada diantara kemacetan daerah Pondok Indah Mal. Puasa diartikan menahan lapar, haus, hawa nafsu dan sebagainya, tetapi tidak untuk menahan keinginan berkendara sepertinya. Mau itu mobil buatan eropa atau jepang, motor buatan Cina atau Indonesia, dijalanan kita sama, sama-sama manusia yang terjebak kemacetan, sama-sama ingin selamat sampai tujuan, dan sama-sama menunggu waktu berbuka -- jika memungkinkan berbuka ditempat yang akan dituju.

Tak terasa sudah pukul 17.15, 33 menit menjelang waktu berbuka puasa. Saya masih berada dijalan Lebak Bulus menuju Ciputat. Di lampu merah dan underpass sudah terlihat para pedagang menjejeli dagangan mereka. Kebanyakan berjualan minuman kemasan, beberapa berjualan gorengan atau roti. Hmm, Jakarta dengan segala ke'ada'annya macam toserba -- toko serba ada. Pedagang mulai mendekati satu persatu kendaraan yang terjebak macet, dari kendaraan satu ke kendaraan lainnya, berharap dagangan habis terjual, layaknya harapan dalam sebuah kesabaran.

Meskipun sudah menunjukkan pukul 17.38 yang tandanya 10 menit lagi akan beduk magrib, hiruk pikuk masih terlihat di jalan raya Bojong Sari. Saya dan Bella memutuskan untuk berhenti sejenak membeli minuman buka puasa. Di kota kelahiran saya, aktifitas bisa terlihat berhenti sejenak seketika beduk magrib, ada juga sih yang berlalu lalang, tapi bisa dihitung pakai jari. Hei.. Ini Jakarta. Lupa? Yang tak bisa jadi bisa, yang tak ada jadi ada, yang tak mau jadi mau, tak ada yang tak ada. Terserahlah.

Ibu kota dengan segala keunikannya, kota keras dengan berjuta keramahan, walau kebanyakan oplosan. Saya menikmati. Jakarta :)

Diketik pada 17 Juni 2016, 12 Ramadhan 1437 H.

Jumat, 17 Juni 2016

Genius or Scenius?





Perbandingan ini saya dapat setelah membaca bukunya Austin Kleon yang berjudul Show Your Work. Saya rekomendasikan bagi kalian yang masih ragu-ragu dalam membuat atau menunjukkan suatu karya, seperti saya. Kenapa? Pembahasannya ringan, tetapi banyak informasi yang bisa kita jadikan motivasi dalam berkarya.

Saya tertarik dengan tulisan penulis yang membahas tentang "tak perlu menjadi genius", padahal yang saya selama ini dengar, orang-orang ingin disebut genius bukan? Terlepas dari itu semua, disini saya ingin membahas dua kata ini saja 'Genius' dan 'Scenius'.

Siapa Genius?

Buku ini membahas tentang si Genius Penyendiri, seorang manusia dengan bakat luar biasa yang muncul tiba-tiba, tanpa sumber pengaruh atau terdahulu, terhubung langsung dengan Tuhan atau Sang Pemberi Ilham. Jika inspirasi datang, sambarannya seperti kilat, bohlam menyala di benaknya, lalu dia menggunakan sisa waktu dengan mengurung diri di studio, mewujudkan ide tadi menjadi karya besar yang diluncurkan ke dunia dengan gegap gempita.

Bagi si Genius Penyendiri, kreativitas termasuk tindakan antisosial, ini hanya dilakukan oleh beberapa sosok hebat -- kebanyakan sudah meninggal dan terkenal. 

Seperti Mozart seorang komponis yang karya-karyanya secara luas diakui sebagai puncak karya musik. Lalu Einstein seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20 sehingga beliau disebut sebagai bapak fisika sedunia. Atau Picasso seorang seniman yang terkenal dalam aliran kubisme dan dikenal sebahai pelukis revolusioner pada abad ke-20. Jenius seni yang cakap membuat patung, grafis, keramik, kostum penari balet sampai tata panggung.

Siapa Scenius?

Orang-orang yang tidak menganggap dirinya genius. Yap, scenius tidak menunjukkan betapa cerdas dan berbakatnya dia, melainkan apa yang ia kontribusikan -- gagasan dibagikan, kualitas hubungan yang dijalin, dan percakapan yang diciptakan.

Saat kita melupakan masalah genius dan lebih memikirkan cara mengembangkan dan berkontribusi pada scenius, kita dapat menyesuaikan harapan sendiri dengan dunia yang diharapkan menerima kita. Kita akan berhenti mempertanyakan apa yang orang lain berikan, dan mulai mempertanyakan apa yang bisa kita sumbangkan.

See the different?

Dizaman persaingan ketat ini, apa pilihan hidupmu? Ingin menjadi genius atau scenius?

Saya pribadi tentu ingin menjadi golongan scenius, kenapa?



Masih mengutip dari buku Show Your WorkScenius punya pandangan tersendiri, saat genius yang dalam prakteknya saling mendukung, mengamati karya satu sama lain, saling mencuri ide dan saling menyumbang gagasan, scenius justru tidak mengambil apapun dari pencapaian orang-orang hebat ini, tetapi menyadari bahwa karya bagus tidak muncul begitu saja. Dan kreativitas, dalam aspek tertentu, selalu berupa kolaborasi, hasil pemikiran yang terkait dengan pemikiran lainnya.

Cara terbaik untuk membagi karyamu adalah memikirkan apa yang ingin kamu pelajari, lalu berkomitmenlah mempelajarinya melebihi apapun. Temukan satu scenius, perhatikan apa yang orang lain bagi, lalu catatlah apa yang tidak mereka bagi. Cermatilah kekosongan yang dapat kamu isi dengan usaha sendiri, walau sulit memulainya. Bagilah apa yang kamu cintai maka orang-orang yang sehati denganmu akan datang.

Untuk menjadi seorang scenius kamu cukup mencerna dan mempraktekan apa yang dikatakan oleh seorang penyair asal Amerika Serikat, Henry Wadsworth Longfello.

"Berikan yang kamu punya. Bagi seseorang, bisa jadi itu berguna baginya melebihi dugaanmu"

Sederhananya..

Setiap kreativitas apa pun bentuknya, sekalipun kamu anggap tak berguna, tunjukkan dan sumbangkanlah. Keluarlah dari standarmu, abaikan kesempurnaan yang menjadi penghambat kreativitasmu, mulailah lebih mencintai dimulai dengan mencintai hasil karyamu. Tidak ada yang beda antara yang bagus dan yang jelek. Yang membedakan adalah berkarya dan tidak berkarya.

Di era yang serba canggih begini, kamu tak perlu pusing-pusing memikirkan bagaimana menunjukkan hasil karyamu. Manfaatkan media yang ada, seperti blog, situs media sosial, group e-mail, ruang diskusi, dan lain-lain. Disana kalian akan berjumpa dengan scenius lain yang juga akan membagikan hasil karya mereka, mungkin suatu saat bisa menciptakan kolaborasi. Menarik bukan?

Nah.. Masih tertarik untuk menjadi Genius?

Saya rasa Mozart, Einstein, atau Picasso memilih jalan hidup mereka sebagai Genius, mungkin karena meraka kesulitan bersosialisasi dan memutuskan menjadi bagian dari antisosial, kemudian memilih jalannya sendiri memunculkan ide-ide besar yang dapat kita lihat dan rasakan manfaatnya hingga hari ini. Mungkin, lho..