Selasa, 06 September 2016

Tujuh September untuk yang ke-empat-puluh-tujuh kalinya


Dear ibundaku tersayang, mama..

Empat puluh tujuh tahun yang lalu di tanggal tujuh bulan September tahun seribu sembilan ratus enam puluh sembilan, mama lahir ke dunia. Dibesarkan oleh seorang wanita dan pria yang luar biasa, nenek dan kakek yang saya sayangi. 

Dua puluh lima tahun yang lalu di tanggal dua puluh satu bulan Oktober tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh satu, mama melahirkan saya ke dunia, menjadi seorang ibu. Dengan kasih sayang yang tak kalah luar biasa membesarkan saya, seperti saat nenek membesarkan mama.

Selama dua puluh lima tahun, banyak hal yang mama lalui dalam membesarkan saya. Jalannya tidak selalu mulus. Saya tahu. Saat waktu tidur mama terganggu akibat pekikan saya di malam hari karena kehausan ingin minum susu atau akibat popok yang basah. Saat mama menatah saya belajar berjalan hingga bisa berlari dengan dua kaki saya sendiri. Saat celotehan saya mengganggu hari-hari mama dengan pertanyaan yang tidak penting, mama tetap meladeni dan menjawab dengan sabar.

Bahkan ketika tumbuh menjadi remaja, mama cukupkan segala kebutuhan saya. Menyekolahkan saya, hingga saat ini saya menjadi seorang sarjana. Padahal pendidikan terakhir mama hanya tamatan SAA (setara SMA), mama selalu mengatakan, bahwa saya harus bisa lebih hebat daripada mama.

Ma, tahukah mama, rasanya sungguh berat untuk bisa menjadi seperti mama. Wanita tangguh yang mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri, melakukan segala hal dengan kedua tangannya sendiri, tentunya dengan kecerdasan yang mama miliki. Hingga saat ini saya berusia dua puluh lima tahun, saya masih merasa belum ada apa-apanya.

Mama membesarkan tiga orang anak dengan tiga kepribadian yang berbeda. Saya paham betul yang mama rasakan ketika menghabiskan banyak uang untuk menyekolahkan abang, tapi tidak dapat melihatnya memakai toga. Saya juga selalu merasa berdosa ketika mengingat saat saya tidak menghiraukan mama karena melarang saya berhubungan dengan lelaki yang menurut mama tidak baik untuk saya, naluri seorang ibu yang saya patahkan saat itu. Dan saat ini tengah berjuang kembali menyekolahkan adik yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Saya tidak pernah mendengar keluhan dari bibir mama. Mama pun tak pernah menuntut apa-apa dari saya, mama hanya berbahagia melihat pencapaian dan perkembangan saya hingga hari ini.

Wanita yang selalu saya banggakan, selamat ulang tahun untuk yang ke empat puluh tujuh kalinya. Terimakasih telah membesarkan dan menjadi ibu yang teramat baik. 

Sehat-sehat selalu ya ma..

Saya berharap Tuhan selalu melindungi mama, Tuhan memberikan izin agar mama dapat melihat perkembangan saya hingga nanti. Menjadi orang yang paling bahagia seiring perjalanan hidup saya.

Maafkan ulang tahun kali ini saya tidak berada dekat dengan mama, memberikan kue ulang tahun dengan hiasan lilin yang selalu saya bawa ke hadapan mama setiap pukul 00.00 untuk ditiup dan dipotong, serta tidak dapat memeluk erat tubuh mama.

Wanita yang selalu saya rindukan, sejauh apapun jarak saya dan mama saat ini, saya percaya hati kita berdekatan. Tuhan selalu punya cara menghangatkan walaupun dengan tidak berpelukan.

Sekali lagi terimakasih telah menjadi ibu luar biasa untuk kami.


Love

Your Daughter
Dhea

They are not your enemies, they are truly your friends!


Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang teman pada sebuah cafe di Gandaria City. Teman yang dahulunya berlabel 'musuh', belum pernah bertemu secara nyata, dan hanya berkomunikasi di media sosial. Terkesan mengerikan karena akan bertemu 'musuh' lama yang katanya sudah 'tidak ada dendam diantara kita'.

Namanya Putri Inggi Aditya, mantan kekasih dari mantan saya. Kita sama-sama mantan nih ceritanya? Hehe.


Sekilas tentang perkenalan bodoh dari dua orang tolol, I guess. Sekitar tahun 2009 (kalau tidak salah) ketololan dua wanita akibat seorang pria brengsek yang mereka sayangi melebihi apapun di dunia. Dua wanita yang rela berdarah-darah demi mendapatkan perhatian dari si pria brengsek. Tanpa mereka sadari sang pria hanya mencari untung dari hubungan yang mereka jalani.


Dua wanita tolol bertahun-tahun bersitegang mencari kesalahan satu sama lain. Pada akhirnya wanita tolol yang pertama menyerah untuk tidak melanjutkan peperangan tersebut. Wanita tolol kedua masih kekeuh dengan hubungan yang ia jalani dengan pria brengsek tadi. Pada akhirnya si wanita tolol kedua menghadapi pahitnya kenyataan, habis-habisan karena cinta, bukan hanya materi, bahkan cinta dari sang pria pun tak ia dapatkan (habis), dan harus menerima dengan lapang dada bahwa sang lelaki telah memilih jalan hidup baru dengan menikahi wanita lain. Percayalah, Tuhan menyelamatkan hidupmu, teman.


Cukup untuk cerita masa lalu yang penuh kemunafikan.


Empat tahun, dimulai dari tahun 2012, Inggi dan saya tidak berkabar satu sama lain. Inggi yang tadinya berisik di segala media sosial mendadak hilang dari peradaban. Tidak terlalu penting untuk tahu kabarnya, kita kan 'musuh', benar tidak?


Saya jawab tidak. Mungkin ada yang menilai, jawaban saya terkesan munafik. Bebas.


Entah mengapa saat pindah ke Jakarta, nama yang satu ini menjadi daftar orang yang wajib saya temui. Gayung bersambut, Inggi mengaktifkan kembali media sosial yang sudah lama ia tinggalkan, sudah penuh jaring laba-laba barangkali. Saat saya coba menghubunginya, ternyata Inggi sudah bekerja di negara Singa.


Nah.. Tepatnya 2 September 2016 lalu, Inggi mendapat tugas ke Indonesia. Ia langsung memberi kabar dan mengajak saya bertemu, lalu saya menyetujui ajakannya. Sebagai orang yang blak blakan dia bertanya, "Apakah pertemuan ini murni untuk sekedar ngobrol?" Lha, pertanyaannya sontak bikin saya gagal paham. Apakah ini terlihat semacam jebakan? Lalu saya jawab dengan banyolan garing, "kalau gue sih iya, pengen ngobrol. Ngga tau deh lo. Tapi kalau datang duluan di TKP, jangan pesanin kopi buat gue".


Malamnya, sekitar pukul 19.00 saya dan Inggi bertemu, tidak terlihat kecanggungan, justru terlihat seperti teman lama yang sudah belasan tahun tak bertemu. Lebay? Bodo. Percakapan sambung menyambung dari cafe satu ke cafe lain, dari pukul 19.00 hingga pukul 00.30. Wow banget ngga tuh?


Pertemuan dan percakapan yang berlangsung 5 jam lebih itu dirasa masih kurang. Inggi dan saya membahas ketololan masa lalu masing-masing. Menemukan jawaban atas permusuhan yang selama ini dia dan saya perankan. Tapi, tanpa masa lalu yang kelam itu, mungkin kita berdua tidak akan seperti ini. Lagi-lagi ada sesuatu yang patut disyukuri bukan?

Hal terpenting dari pertemuan ini adalah, saya mendengar perjalanan dan perjuangannya bangkit dari titik paling rendah (nol) hingga mampu berdiri kembali, bukan hanya untuk dirinya sendiri, bahkan untuk keluarganya. Kisah-kisah yang dia ceritakan menjadi pelajaran berharga, khususnya untuk saya pribadi. Tentang bagaimana bisa survive. Tentang bertemu dengan seorang pria yang jauh lebih baik daripada pria di masa lalu.

"Gue harap pertemuan selanjutnya, kita bisa sharing pengalaman-pengalaman seru lainnya ya, Nggik"

Ternyata benar, siapapun orangnya, bagaimanapun keadaanya saat dipertemukan, orang tersebut bukan dengan tidak sengaja dihadirkan dalam hidup kita. Mereka ada untuk mengajarkan. Saya tidak percaya akan istilah 'musuh', bagi saya 'musuh' adalah teman yang sebenarnya. Bukannya hanya yang berlabel 'musuh' yang mampu mengkritik dengan sangat pedas dan apa adanya?