Rabu, 28 Februari 2018

The End of February


Jakarta lagi dingin-dinginnya malam ini, ketika aku melihat sesosok wanita duduk sendiri bersama sebuah pena dan buku catatan di atas meja sebuah cafe. Di atas meja wanita itu juga kulihat tiga gelas minuman dan sebatang rokok yang menyala di atas sebuah asbak hitam. Dua diantara tiga gelas itu tampak kosong. Dari gelasnya bisa kutebak, yang diminum wanita itu adalah Martini.

Aku menghabiskan malam bercerita panjang lebar dengan temanku sambil sesekali mencuri padang ke arah wanita itu. Kulihat ia menggenggam pena dan mencoretkannya ke sebuah buku kecil. Dalam hati aku menerka-nerka apa yang dituliskannya, catatan harian, agenda kerja, catatan hutang, atau list persiapan pernikahannya. Ah! Apa urusanku.

Tatapannya kosong ketika bibirnya menghisap dalam rokok, yang kemudian perlahan mengeluarkan asap. Kembali ia meneguk minuman dari gelas yang masih ada isinya. Aku masih bertanya-tanya di dalam hati, bersama siapa dia di tempat yang ramai dan berisik ini? Aku tebak dia menunggu seseorang, bisa jadi, karena tempat ini sangat tidak aman untuk seorang wanita yang duduk sendirian.

Kuperhatikan wanita itu sedang asyik menulis sambil sesekali kunikmati kentang goreng di atas mejaku. Diiringi lagu Perfect dari Ed Sheeran, menambah syahdu malam ini. Orang-orang sibuk menikmati malam, ada yang bernyanyi, tertawa, makan, minum, berdansa, lagi-lagi kulihat ke arah wanita itu, ia tak sedang menulis, melainkan menundukkan kepala. Aku fikir itu hal yang wajar bagi seseorang yang kebanyakan minum alkohol jika tidak ingin dibilang mabuk. Hehe..

Wanita itu kembali menulis, kali ini aku benar-benar bisa melihat mukanya dengan jelas, matanya terlihat sendu, tak berapa lama kemudian air mata membasahi pipinya. Aku fikir itu juga wajar untuk seseorang yang merasa kesepian di tengah keramaian.

Beberapa saat kemudian kudengar wanita itu memesan minuman lagi, artinya akan ada empat gelas di atas mejanya. Cukup banyak untuk diminum sendiri kufikir. Wanita itu menyalakan lagi rokok yang entah untuk keberapa kalinya ketika kulihat seorang pria mendatanginya. Akhirnya ada teman juga, gumamku dalam hati.

Dan pada saat lagu I Don’t Wanna Miss a Thing dari Aerosmith diputarkan, kudengar wanita itu menangis dan mengeluarkan suara yang cukup keras, mukanya disembunyikan di antara tangan yang dilipat di atas meja. Sontak perhatianku fokus pada satu arah. Tak lama kemudian dia berusaha bangkit dan terjatuh. Untungnya sang teman sigap memegang badannya yang terkulai. “Kebanyakan minum”, kataku pada temanku.

Wanita itu dibopong oleh temannya, bukan urusanku dibawa kemana, semoga dia aman dan selamat. Lalu pandanganku tertuju pada satu buku di atas meja yang ditempati oleh wanita tadi. Mereka lupa membawanya. Itu adalah buku yang dicoret-coret oleh wanita itu sewaktu menunggu temannya. Penasaran, diam-diam aku mengambil catatan kecil itu. Ada tulisan singkat yang perlahan kubaca.

Hai...
Apa kabar?
Dapat kupastikan kamu baik-baik saja sejak hari terakhir kita tak saling bicara. Aku ingin sedikit bercerita tentang pentingnya kamu di hidupku, tentang betapa kehilangannya saat aku tidak bisa mengetahui kabarmu dari hari ke hari. Sulit. Aku butuh orang yang mendengarkan suaraku ketika bernyanyi, aku ingin menikmati lagu bersama-sama, tanpa protes akan betapa jeleknya suaraku saat bernanyi. Cuma kamu. Aku ingin mendengar tawamu ketika aku menceritakan sesuatu yang pada kenyataannya tidak lucu, semangatku setiap paginya. Ah, aku sedih! Tidak ada itu lagi. Tapikan aku yang minta? Betul. Lambat laun aku sadar, hanya aku yang membutuhkanmu, sementara kamu tidak. Aku butuh sedikit waktu untuk bisa merasakan kehangatan saat memelukmu, menatap matamu, yang dapat kujadikan kekuatan untuk menjalani hari-hari sepi berikutnya. Tapi itu tidak begitu penting bagimu, aku tahu. Kehadiranku tidak bernilai tambah untuk kehidupanmu, harusnya kusadari sejak awal. Maafkan aku. Maafkan untuk waktumu yang tebuang sia-sia karena aku. Maafkan karena tidak bisa menjadi teman yang menyenangkan. Maafkan karena malam ini aku merindukanmu.


Kututup buku catatan kecil itu, lalu kuserahkan kepada pelayan. “Barangkali diambil lagi”, kataku.

Hubungannya berakhir, seperti malam ini yang beberapa jam lagi akan berakhir. Kuangkat gelas minumku sambil berkata “setidaknya nafas kita belum berakhir, hadapi esok, mari tersenyum”.

Kamis, 10 Agustus 2017

Mengelola patah hati...

Wujud nyata dari rasa yang berlebihan yang diberikan kepada orang yang kurang atau tidak tepat adalah patah hati. Logika mengatakan bahwa dia belum layak atau (bisa jadi) kita yang belum layak untuknya, atau yang terparah, dia yang kita berikan rasa sudah memberikan perasaannya kepada orang lain. Sering kali kita mengabaikan hal-hal kecil tersebut.

Kita juga tidak bisa menyesalkan sebuah pertemuan, yang datang dalam hidup tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memberikan pelajaran dan pengalaman, hanya saja caranya berbeda-beda. Ada yang nantinya memberikan akhir yang bahagia dan ada yang pada akhirnya membuat kita sungguh menderita.

Untuk yang disebutkan terakhir, penderitaan atau patah hati yang kita rasakan adalah perasaan yang temporer, yang bisa kita kelola bahkan bisa langsung kita ctrl+del. Meskipun masih menyisakan bekas di recycle bin, pada saatnya kita juga akan kembali melakukan bersih-bersih dan menghilangkan segala jejak yang tertinggal.

Satu hari, dua hari, bahkan satu minggu, satu bulan, hingga satu tahun (ini sebenarnya lebay, hehe..) setelah kepergian orang yang kita cintai adalah sepahit-pahitnya kehidupan. Kita merasa orang yang paling menderita di muka bumi, ditinggalkan kekasih hati yang dahulu mengisi hari-hari indah kita.

Mari kita jabarkan kehadiran dia di kehidupan kita. Dia membuat kita menjadi orang yang paling beruntung, dia menjadikan kita orang yang paling berbahagia, dia membuat kita semangat menjalani hari demi hari, dia menjadikan kita manusia yang produktif, dia memperhatikan setiap detail kehidupan kita.

Setelah hal-hal tersebut hilang, perlahan kita merasa hari-hari kita biru, kehilangan kebiasaan-kebiasaan saat bersamanya. Satu hal yang perlu diingat, agar tetap waras setelah kepergian orang yang sangat kita cintai. Segala sesuatu yang datang, pada akhirnya akan pergi. Entah itu pergi karena sudah takdir dari Yang Maha Kuasa, ataupun pergi karena pilihannya sendiri.

Saat perasaan sedang berkabung, nikmatilah. Jika memang sedih, nikmatilah kesedihan itu, pada akhirnya kita akan tahu arti menghargai diri sendiri. Jika harus menangis, menangislah sejadi-jadinya, jangan menutup kesedihan dengan senyum atau tawa palsu hanya karena ingin dibilang manusia tegar. Buat perjanjian dengan diri sendiri, berapa lama waktu yang kita inginkan untuk masa berkabung. Setelah melewati waktu yang ditentukan, berjanjilah tidak akan lagi terlibat pada kesedihan yang sama.

Pada saat itu, kita dapat meyakinkan kembali diri kita, bahwa sesungguhnya kebahagiaan itu kita yang ciptakan. Untuk setiap orang yang datang adalah bunga yang menghiasi taman kehidupan kita, dia bisa mekar pada saatnya dan layu bahkan gugur pada akhirnya.