Kamis, 20 Oktober 2016

Selamat datang 25..


Hari ini, 21 Oktober, 25 tahun yang lalu saya hanyalah seorang bayi mungil yang dilahirkan dari seorang ibu tangguh, dibesarkan oleh kedua orang tua dengan kasih sayang yang utuh.

Waktu begitu cepat berlalu, baru kemarin rasanya saya merasakan bagaimana diumumkan menjadi seorang jawara kelas, baru kemarin rasanya saya merasakan menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti pertandingan volley antar sekolah se-provinsi, baru kemarin rasanya saya mengenakan seragam putih abu-abu dan bergelak-tawa di dalam kelas hingga membuat seorang guru matematika menangis, baru kemarin rasanya saya mengejar dosen kesana kemari untuk bimbingan atau sekedar meminta tanda tangan, baru kemarin rasanya saya kesana kemari memasukkan lamaran pekerjaan agar tidak dibilang pengangguran.


Untuk urusan cinta, mungkin saya termasuk golongan orang yang terlambat mengenal cinta. Saat teman-teman saya telah mengenal cinta di bangku sekolah menengah pertama, saya baru bisa merasakan cinta yang sesungguhnya di bangku sekolah menengah atas. Saya masih ingat betul tanggalnya, 24 Januari 2007. Seorang pria yang saya kenal dari media sosial. Terdengar lucu, tapi dialah cinta pertama saya. Pria yang satu tahun lebih tua dari saya. Sayangnya hanya beberapa bulan kisah cinta yang saya dan dia jalani, karena keterbatasan jarak atau yang sering disebut long distance relationship.

Saya wanita yang sulit jatuh cinta, apabila telah menetapkan hati pada satu pilihan, maka akan berusaha mempertahankan apa yang saya pilih. Tapi sayangnya kebanyakan pilihan-pilihan itu salah, mungkin bukan saya yang salah memilih mereka, namun mereka yang salah memilih saya. Hehe..


Termasuk jatuh cinta yang saya rasakan hingga hari ini. Bukan perkara jatuh cintanya, tapi dengan siapanya. Lagi dan lagi sepertinya pilihan hati saya salah. Seorang pria yang tak bisa saya jamah hatinya. Bertepuk sebelah tangan? Tidak juga.. Bukan itu masalah utamanya. Ada baiknya saya berfikir, menerima kenyataan tidak akan pernah bisa menjadi bagian hidupnya lebih indah daripada terus-terusan berada di pelukannya dalam ketidakpastian.


Seperti artikel-artikel yang saya baca, mungkin saya dalam fase krisis seperempat baya, yang katanya terjebak pilihan-pilihan dalam hidup, fase dimana merasa hidup secara autopilot.


Tetap saja hidup bukan tentang teori-teori yang kita baca pada artikel. Beruntung jika teori tersebut bisa diaplikasikan ke kehidupan nyata. Nah, kalau orangnya bebal seperti saya bagaimana? Mau teori atau nasehat, kalau hati yang sudah berbicara logika selalu kalah. Semoga akan berubah seiring bertambahnya usia dan kedewasaan. Yang saya Ingin adalah tersenyum sebanyak-banyaknya dan mengurangi kesedihan, mungkin untuk bersedih saya beri waktu satu jam saja.


Daripada memikirkan cinta-cintaan atau kesedihan-kesedihan yang tidak berguna, lebih baik saya mulai memikirkan pekerjaan yang dapat menjadi sandaran saya hingga tua nanti (baru juga 25 udah mikir hari tua), bagaimana caranya menggendutkan tabungan, memiliki benda-benda berharga, konsep pernikahan (cari aja dulu calonnya!). Ah, begitulah! Memang banyak maunya.


Alangkah saya menikmati segala proses dan pencapaian hingga hari ini. Tumbuh dan berkembang di keluarga yang mendukung penuh segala keputusan saya. Mempunyai sahabat yang tidak pernah meninggalkan saya dalam keadaan apapun. Bertemu dengan orang-orang bijak yang menjadikan saya pribadi yang bijak pula, yang mengajarkan saya bagaimana menjadi sebaik-baiknya manusia. Dibuat jatuh bangun oleh cinta. Setiap orang yang datang dan pergi, saya percaya mereka dihadirkan untuk mengajarkan.

Tidak henti-hentinya saya berucap syukur atas nikmat yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Saya bangga dan teramat bahagia menjadi saya..

Jumat, 07 Oktober 2016

Menuju DKI 1..

Pic: http://www.plimbi.com/article/163742/cagub-alternatif-dki1-untuk-jakarta-berwarna-

Rutinitas saya di pagi hari, sama seperti biasanya. Bangun, kemudian mandi, kemudian berangkat ke kantor, kemudian menyalakan komputer, kemudian menyempatkan diri beberapa menit untuk sedikit menambah wawasan. Yap! Membaca berita.

Bedanya dengan hari-hari kemarin, ada berita yang paling menggelitik dan masih ramai diperbincangkan hingga sore ini, yaitu mengenai Bapak DKI 1 atau Bapak Basuki atau Bapak Ahok yang (katanya) sebut Al Quran sebagai kitab yang membodohi umat islam.

Penasaran dimulai, saya mencari rekaman video yang berisikan pendapat Bapak Ahok mengenai kitab yang membodohi tersebut. Rekaman berdurasi 1 jam 48 menit, lokasinya di Kepulauan Seribu, disaksikan oleh warga setempat dan juga beberapa media, sesi tanya jawab berlangsung meriah, sebenarnya bukan tanya jawab, lebih ke diskusi antara warga dan sang gubernur. Meskipun tidak semua yang ingin bertanya atau berpendapat dapat menyalurkan unek-uneknya karena keterbatasan waktu, Bapak Ahok masih memberi kesempatan kepada beberapa orang warga.

Pada video tersebut jelas Bapak Ahok mengatakan jika tidak terpilih pun (menjadi gubernur) program akan terus berjalan, warga bisa saja tidak memilih (Pak Ahok) karena dibohongi pakai surat Al Maidah Ayat 51 (tafsiran Al Maidah ayat 51: jangan mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin). Bapak Ahok juga mempersilahkan warga untuk tidak memilihnya apabila ada calon pemimpin yang lebih baik dan lebih jujur.

Lalu letak kesalahannya dimana? Berulang kali saya memutar video tersebut pada menit ke 23 hingga 25. Apa karena saya mengaggumi Bapak Ahok sehingga tidak melihat kesalahan seperti yang orang-orang lihat? Tidak juga. Saya masih dapat berfikir menggunakan logika. Apalagi ini menyangkut agama. Saya muslim, sedikit banyak tahu lah tentang agama.

Pemberitaan miring yang saya baca, Bapak Ahok sebut umat islam telah dibohongi sutrat Al Maidah Ayat 51. Kalau membaca berita sepotong-sepotong (mungkin) saya juga akan membenci Bapak Ahok. Kitab agama saya dilecehkan, jelas saya berontak. Tapi faktanya kan bukan begitu. Maksud Bapak Ahok di video itu, kita (umat muslim) jangan mau dibodohi menggunakan surat Al Maidah Ayat 51. Siapa yang membodohi? Tentunya pihak-pihak yang berkepentingan, yang tidak menginginkan Bapak Ahok untuk maju kembali menjadi DKI 1.

Wajar sih menjelang pilkada akan ada saja berita-berita semacam ini. Intinya hak pilih ada ditangan masing-masing individu bukan? Kita akan memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani kita, pemimpin yang menurut kita dapat memimpin daerah dengan baik, tanpa paksaan dari pihak manapun. Mau itu Bapak Ahok, Bapak Anis, ataupun Bapak Agus, percayalah berita miring mengenai ketiga tokoh ini akan berseliweran di pemberitaan pilkada. Intinya sejauh mana kita dapat mencerna berita tersebut. Mau kita tanggapi secara positif atau negatif. Semua punya hak yang sama dalam berpendapat. Tidak usah berargumen ini itu agar dibilang benar, karena jika salah akan malu sendiri nantinya.