Kamis, 21 Juli 2016

15 Things Every Girl Should Do Before Getting Married


Menikah? Kawin? Rumah Tangga?

Halah. Kata-kata mainstream yang akan menjadi suatu keharusan untuk didengar. Si 'Anu' nikah lho bulan ini, lo kapan Nikah?

Untungnya saya bukan tipikal manusia yang liat teman/sahabat/orang lain nikah, ingin nikah juga. Ingin sih ingin, tapi ngga langsung saat itu juga cari calon lalu diajak nikah.

Masih 25 tahun ini, masih ada waktu lah ya..

Baca artikel Bisnis.com tentang 15 hal yang perlu dilakukan perempuan sebelum menikah. Menarik dibahas nih. Soalnya setelah menikah, ruang gerak perempuan pasti terbatas. Syukur-syukur punya suami yang mengerti, pun mengerti, kodrat sebagai perempuan ngga bisa dihindari.
Lakukan dulu beberapa hal berikut ini sebelum menikah. Hey ladies, come on!

1. Berlibur bersama saudara perempuan, baik adik dan kakak kandung atau sepupu. Bisa juga dengan sahabat perempuan Anda.

Poin pertama, jelas sudah dong! Karena saya tidak punya saudara perempuan. Maka traveling partner yang paling paling top markotop adalah ibu saya. Dalam waktu dekat akan berlibur bersama para sepupu dan sahabat saya, Bella.

2. Pergi berlibur dengan calon suami, untuk melihat bagaimana Anda dan si dia menjalani perjalanan tersebut berdua. 

What? Calon? Belum ada. Ada rekomendasi selain calon suami? Pinjam suami orang atau teman misalnya? Ok, Cukup! Saya bercanda...

3. Merasakan patah hati yang sangat menyakitkan.

Dua poin. Saya terlatih patah hati. Bahkan hal yang paling menyakitkan, ketika keluarga sang mantan turut serta memporak-porandakan.

4. Meninggalkan seseorang.

Tiga poin. Sebagai seorang wanita yang cukup menarik (alhamdulillah, amin), meninggalkan pria beberapa kali wajar lah ya. Terlebih bila si lelaki tak berpendirian. (Congkak) Bye!

5. Atur keuangan. Pastikan Anda tidak punya utang sebelum menikah, supaya tidak membebani suami nantinya.

Hahaha.. Saya masih punya hutang dengan si mba jamu langganan dan si ibu dokter cantik. Akan diselesaikan dalam waktu dekat, kok.

6. Bicara soal finansial dengan calon suami. 

Ini apa ngga ada hal lain yang bisa dilakukan apa? Calon suamiku masih ditangan Tuhan.

7.Tinggal sendiri, atau bisa juga bersama teman.

Empat poin. Baru bisa merasakannya di umur 24 jalan 25 tahun. Not bad! Saya jadi lebih mengerti arti dari kemandirian. Meskipun sering dilanda rindu keluarga.

8. Belajar memasak.

Lima poin. Sebagai keturunan suku Minang, pandai memasak adalah wajib hukumnya bagi wanita!

9. Memanjakan diri sendiri.

Enam poin. Baru bisa merasakan lagi memanjakan diri, kali ini bahagia bukan kepalang karena pakai duit sendiri tentunya. Setelah keluar dari lembah hitam kemunafikan (kalau kata anak-anak kantor).

10. Bertengkar hebat dengan calon suami.

Di skip sajalah.

11. Pergi berkencan. Nikmatilah masa muda Anda dan bertemu dengan beberapa macam tipe pria untuk mengetahui mana yang paling cocok untuk Anda.

Tujuh poin. Sedang dicoba walaupun tak bisa sepenuh hati.

12. Hadapi ketakutan terbesar Anda.

Delapan poin. Tidak bisa survive di kota orang salah satu ketakutan terbesar. Dan saya bisa menghadapinya..

13. Miliki teman tapi mesra, hanya agar Anda tidak penasaran lagi di kemudian hari.

Sembilan poin. Tidak penasaran, tapi kalau kebablasan baper gimana ya? Bukan teman tapi mesra lagi dong, jadinya teman tapi ngarep (dipacarin). Gitu?

14. Fokus pada pendidikan dan karir.

Sepuluh poin. Karir alhamdulillah so far lancar-lancar saja. Pendidikan? Insyaallah tahun depan lanjut. Amin ya Rabb..

15. Jaga kesehatan. Tubuh adalah aset Anda, jadi mulailah hidup sehat, hindari alkohol, jauhi rokok, makan teratur, dan olaraga.

Berat ya embel-embel kesehatan. Saya bukan alkoholik, tapi berada pada lingkungan berasap rokok, makan teratur, cuma buat rutin olahraga sulit rasanya di kota besar ini..

Dari 15 poin, saya baru melakukan 10 poin. Dari 5 poin yang belum dilakukan 3 poin diantaranya berkaitan dengan calon suami. Sip! Kelarin ketikan ini, matikan pc, mari cari calon suaminya..

Rabu, 20 Juli 2016

Gonjang-ganjing, Morat-marit, Bla~bla~bla..


Dampak yang kian terasa sesak oleh beberapa orang di kantor saya, orang-orang yang menjadi kunci kelangsungan hidup perusahaan. Sebut saja mereka pahlawan income.

Sudah lewat satu semester di tahun ini, pergerakan perusahaan lamban seperti kura-kura. Perusahaan tidak bangkrut, hanya saja tidak ada peningkatan pendapatan yang signifikan.

Pahlawan income yang berjumlah tiga orang sedang morat-marit, direktur sudah mengeluarkan taringnya memberikan warning. "Akhir bulan ini batas akhir" katanya. Saya tidak begitu paham sesungguhnya maksud dari 'akhir' itu.

Akhir-akhir ini direktur dan tiga pahlawan income sering melakukan meeting tertutup, internal tim mereka lah. Teman sekamar saya (sebut saja B) yang salah satu dari tim itu tak bisa menyembunyikan kegaduhan hatinya. Bercerita terkait nasib timnya saat ini.

Inti yang dapat saya simpulkan dari obrolan dengan B, bahwa perusahaan tidak sanggup lagi mengeluarkan gaji (tim mereka), karena satu semester ini pahlawan income tidak mendapat project, artinya mereka tidak memenuhi target.

Kejam? Tidak. Menurut saya direktur sudah cukup toleransi. Satu semester, artinya enam bulan, pahlawan income masih diberi kesempatan mendapat gaji seperti karyawan lain, pun tanpa menghasilkan. Untuk ukuran perusahaan menengah, gaji pahlawan income di perusahaan ini termasuk yang Wah! Mewah lah mewah..

Dua orang lagi dari tim ini sebut saja Pak F dan Pak J. Saya tidak melihat kegelisahan pada wajah pak F, beliau tetap masuk kerja tanpa beban, mencoba mencari peruntungan hingga akhir bulan ini. "Kalau tidak bisa juga, mau bagaimana lagi, saya bersedia freelance" katanya. Barangkali, karena Pak F berasal dari keluarga yang cukup mapan, kegelisahan bukanlah hal yang patut dirasa-rasa.

Beda hal dengan B, si muda pekerja keras yang sejak tamat sekolah menjadi tulang punggung keluarga, tampak semangatnya memudar setelah beberapa project besarnya di hold. "Tidak ada kesempatan lagi", celetuknya. Bagaimanapun ia harus segera mencari pekerjaan baru yang dapat membantunya meringankan beban keluarga.

Lain Pak F, lain B, lain pula Pak J, pentolan pahlawan income ini sudah tiga hari tak datang ke kantor. Kabar terakhir, beliau sedang mengunjungi beberapa customer bersama technical. Pak J harus memperjuangkan nasibnya dan nasib dua orang dibawah naungannya. Hanya helaan nafas panjang yang dapat saya dengar ketika Pak J beberapa kali lewat di depan meja kerja saya dalam waktu sebulan ini.

Siapa yang bisa disalahkan? Mereka bekerja, mereka mencari, mereka berusaha. Perusahaan yang mereka tawarkan barangkali butuh, lagi-lagi faktor ekonomi perusahaan menjadi penentu.

Pelik memang, gonjang-ganjing kian terasa. Bukan hanya pahlawan income yang merasa, juga berdampak pada seluruh karyawan. Siap atau tidak siap kenyataan harus dihadapi, tantangan harus diakhiri dengan kemenangan. Semoga ada keajaiban yang membuat tim ini bertahan. Cayoo pahlawan income....!!!!

Jumat, 15 Juli 2016

Pemuja Rahasia


Nulisnya sambil dengarin lagu Pemuja Rahasia - Sehaila On 7. Band yang pernah hits pada zamannya ini masih enak dinikmati, masih syahdu didengar. Penilaian pribadi, sih..

Dengarinnya ditemani segelas cappuccino hangat yang perlahan gue seruput di ruang kerja yang dingin keparat. Cuaca sore ini mendung, semendung hati sang pemuja rahasia yang sudah tidak rahasia lagi.

Ngutip sebait saja..


Karena hanya dengan perasaan rinduku yang dalam padamu

Kupertahankan hidup

Maka hanya dengan jejak-jejak hatimu

Ada artiku telusuri hidup ini

Selamanya hanya ku bisa memujamu

Selamanya hanya ku bisa merindukanmu



Asoooy banget dah! Lirik lagunya mas Duta & friends ;)

Cukup terwakilkan lah ya untuk para pemuja rahasia. 

Btw, gue dengarin lagu pemuja rahasia, ditemani segelas cappuccino yang mulai mendingin, sambil ngetik blog ngga jelas ini, dan masih menjadi pemuja rahasia lo!




Kamis, 14 Juli 2016

Jeritan 'Hati' Amatir Cinta


Katakan..


Ada kegundahan yang tidak dimengerti waktu ketika menunggu..


Ada kegaduhan yang tidak dimengerti ruang ketika rindu..


Ada kehampaan yang tidak dimengerti hati ketika ingin bertemu..



Tiada yang lebih gaduh, tiada yang lebih gundah, tiada yang lebih hampa, selain hatiku. Kamu tahu? Kuharap..


Sepotong dari Dee Lestari,


"Rasa hangat ketika kedua tubuh bertemu

Rasa lengkap ketika dua jiwa mendekat

Rasa rindu yang tuntas ketika kedua pasang mata menatap"


Bagiku sungguh sederhana, mungkin tidak bagimu.

Kamu yang hadir dalam ketiadaan, sesederhana ketidakmengertian, mengapa kita ditakdirkan (tidak bersama).

Cinta tak pernah salah dan tak kenal batas, bahkan untuk cinta yang bertepuk sebelah tangan sekalipun.

Sayangnya hati ini tak pernah basa-basi untuk mencinta. Sekali lagi (kali ini) mencinta pada yang salah.. Pada yang tak pandai menjaga..


Unpredictable Day..



Kisah nyata tiga wanita gabut pada awal bulan Juli 2016.

Selamat datang Juli, selamat datang liburan.  Hari ini saya tidak lagi melakukan rutinitas bangun pagi seperti biasanya. Kebijakan kantor yang benar-benar bijak, memberikan karyawan libur lebih awal.

Saya sudah diberi tahu bahwa cuti bersama dimulai dari tanggal 1. Sedikit lega rasanya, karena ada jeda setidaknya 7 jam untuk membeli oleh-oleh yang tak sempat terbeli (karena THR baru turun, sih). Saya sudah mengambil penerbangan ke Pekanbaru pukul 20.30 pada tanggal 1 Juli, itu tandanya pukul 17.00 sudah harus bergerak menuju bandara.

Malam sebelumnya saya mengunjungi rumah kakak sepupu di daerah Cileduk bersama Bella. Karena tahu saya dan Bella akan ke pusat perbelanjaan esok hari, kak Mitha (kakak ipar saya) ingin turut serta. Akhirnya saya dan Bella harus bermalam di rumahnya, tanpa baju ganti, tanpa peralatan mandi, apalagi perlengkapan make up. Sama sekali tidak ada rencana menginap, segalanya serba pinjam punya kak Mitha. Saya menyarankan agar esok pagi bersiap sepagi mungkin.

Harapan memang selalu berbeda dengan kenyataan. Saya dan Bella bangun pukul 07.00 dan bergegas untuk bersiap. Tapi kakak ipar saya belum bangun, mau tidak mau saya terpaksa mengetuk pintu kamarnya hingga terbangun. Menunggu kak Mitha mandi dan touch up? Bukan main lamanya...

Kesiapan ini tak berarti apa-apa. Banyak hal yang harus dikerjakan sebelum berangkat. Mulai dari memberi Kendra (keponakan saya--anak kak Mitha) makan, memandikan, meminumkan obat, terakhir mengantarkan ke rumah nenek. Alhasil pukul 10.30 baru bergerak dari rumah menuju Blok M. Kali ini kita pergi menggunakan Grab Car. Ada sedikit penyesalan sih menggunakan mobil, karena jalanan jakarta sedang padat-padatnya.

Prediksi saya benar, jalanan Jakarta sedang tidak bersahabat. Sekitar pukul 11.50 baru sampai di Blok M. Ini artinya saya cuma punya waktu 2 jam untuk berbelanja. Ok! Mari kita manfaatkan waktu yang ada untuk mencari sesuatu yang dicari.

Namanya juga perempuan, 2 jam itu berasa 30 menit untuk belanja. Tau-tau sudah pukul 2 lewat, yang dibeli juga tidak seberapa. Saya mulai kalut, dikejar waktu saat belanja demi apapun tidak menyenangkan. Tapi harus segera disudahi karena saya harus bersiap untuk ke bandara, saya juga belum packing, lho. Kenapa ngga packing dari kemarin-kemarin? Au ah. Kalau dibilang bego saya terima, kok.

Gimana sih orang yang lagi panik? Ngerjain apa-apa pasti ngga serius dan ngga bakal selesai. Pukul 14.19 masih aja di Blok M, mau pesan Grab Car pasti saya terlambat.
Ada beberapa opsi yang saya fikirkan.

Pertama, saya harus menempuh jalan Blok M - Cileduk yang macetnya warbyasaa, setibanya di Cileduk melanjutkan kembali perjalanan ke kos setelah itu prepare barang lalu ke bandara. Ini peer banget! No.. Saya pasti ketinggalan pesawat. Kedua, saya, Bella dan kak Mitha pesan Grab Bike or Go Ride menuju Cileduk lalu ke kos prepare barang dan berangkat ke bandara. Ya, saya pilih yang kedua.

Ok, kita memesan dari aplikasi ponsel masin-masing. Sepertinya mas Grab dan mas Gojek sedang laris manis, sekitar 40 menit kita habiskan untuk menunggu mas Grab dan mas Gojek datang. Awalnya mas Gojek dari aplikasi ponsel saya tiba, disusul oleh mas Grab dari aplikasi ponsel Bella, terakhir (dengan bersusah payah) akhirnya mas Gojek kak Mitha tiba. Si Bella yang tadinya menggunakan hot pants, akhirnya diganti dengan celana jeans yang baru dibeli dengan kondisi tak terkancing (yaiyalah, celana baru coy!).

Namanya unpredictable day..

Trio hijau yang sedang membonceng trio cewe gabut berjalan beriringan, awalnya tujuan kita satu, Cileduk. Sampai ketika kak Mitha dapat kabar bahwa kak Reo (sepupu saya) sedang tidak di rumah. Waahh, makin ser-seran saya. What should I do? Hiks..

Entah apa yang ada difikiran mas-mas trio hijau saat itu, saat kami minta berhenti untuk berbicara di pinggir jalan, jalanan yang tadinya lancar menjadi agak kacau akibat ulah trio cewe gabut. Hingga mendapat keputusan akhir, Bella dan Saya langsung saja menuju kos untuk prepare, barang yang ketinggalan di Cileduk akan dikirim menggunakan Go Send. Akhirnya kita berpencar.

Sesampainya di kos pukul 16.10, saya langsung packing barang yang akan dibawa. Cuma butuh waktu 20 menit, artinya saya masih bisa mandi dan sedikit touch up sembari menunggu barang yang dikirim dari Cileduk.

Hingga pukul 17.00 saya belum dapat kabar barang sudah dikirim atau belum. Saat menghubungi kak Mitha, ternyata masih terjebak macet di tol. Mau tidak mau saya harus bergerak menuju bandara, jalanan pasti sangat sesak, terlebih lagi bandara menjadi pusat kesesakan itu. Urusan barang yang tinggal di Cileduk, pengirimannya dialihkan ke Bandara saja.

Saya memesan Grab Car tujuan bandara. Tapi apa? Tarifnya sungguh tak masuk akal, yang biasanya Rp 97.000 - Rp 110.000, menjadi Rp 246.000 (belum termasuk tol). Damn! Berusaha berfikir cepat, yang tadinya saya males banget pakai Bluebird, mencoba-coba kembali -- kali aja ngga sebengkak tarif mobil aplikasi langganan saya.

Tuhan sedang memihak saya, "jalan menuju Bandara Soeta lancar jaya" kata mas Bluebird merekam suaranya yang kemudian dikirim ke obrolan group diponselnya. Saya hanya menghabiskan sebanyak Rp 140.000 sudah termasuk tol.


Jakarta benar-benar tak bisa diprediksi hari itu...   


Minggu, 10 Juli 2016

Ada Surga (Perut) di Sumatera Barat

Mudik lebaran sudah menjadi ke-khas-an masyarakat Indonesia. Sebagai seorang perantau, libur yang dimulai dari tanggal 1 Juli hingga 11 Juli 2016 ini saya manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga di kampung halaman ibu saya, Bukittinggi, Sumatera Barat.

Banyak hal yang membuat saya rindu untuk pulang ke kampung halaman, salah satunya yang berkaitan dengan kampung tengah alias perut. Ya, memanjakan perut saat mudik lebaran sepertinya sudah mejadi hal yang lumrah. Banyak makanan khas daerah yang tidak dijumpai di kota orang yang membuat saya ingin kembali mencicipinya.

Kali ini saya akan membahas satu persatu makanan atau minuman yang menurut saya mutlak untuk dicicip selama saya berada di Sumatera Barat.

06 Juli 2016
Pondok Lamang Kawa Daun Aia Angek




Waktu menunjukkan pukul 18.08 WIB, suara angin dan kenalpot kendaraan bermotor yang berlalu-lalang terdengar saling memacu. Suasananya dingin, saya dan keluarga bersila diatas anyaman pandan sambil menunggu pesanan datang.

Sudah pasti menu utama pondok yang letaknya di pinggir jalan ini adalah kawa (kopi) daun dan lamang tapai. Sesuai dengan namanya, kawa daun terbuat dari daun kopi yang terlebih dahulu dikeringkan dengan cara diasapi. Daun kopi yang telah kering tadi dimasukkan kedalam tabung bambu dan disiram dengan air panas (atau disedu). Penyajiannya juga unik, yakni menggunakan batok kelapa dengan bambu sebagai tatakan. Rasanya yang seperti teh ke-kopi-kopian sangat nikmat diseruput dalam keadaan panas dicuaca yang dingin, sesekali angin datang untuk menghembus asap dan menebarkan wangi kawa daun.

Kudapan yang paling pas menemani kawa daun adalah lamang tapai. Lamang terbuat dari beras ketan yang sudah dicampur santan kelapa, dimasukkan kedalam tabung bambu, kemudian dibakar menggunakan bara kayu. Sementara tapai terbuat dari ketan hitam yang sudah difermentasi menggunakan ragi tape. Rasanya yang manis dan asam sangat nikmat disajikan panas-panas.


Pondok Lamang Kawa Daun Aia Angek berlokasi di jalan raya Bukittinggi – Padang Panjang. Lokasinya sangat strategis, cocok sebagai tempat beristirahat sejenak apabila pengendara penat diperjalanan. Pondok yang sudah berdiri selama lima tahun ini, diapit oleh bukit dan gunung. Sambil memanjakan perut, pengunjung juga dapat memanjakan mata. 


07 Juli 2016, 08.30 WIB
Katupek ‘ketupat’ Kamang



Makanan yang satu ini tidak pernah alfa menemani sarapan saat saya berada di Bukittinggi. Warung ketupat yang sudah ada sejak tahun 1980-an ini dulunya berjualan menggunakan gerobak dorong. “Ketupat kamang ini sudah ada sejak mama SMP” kata ibu saya. Uni Teti, sapaan akrab si ibu penjual ketupat, kini berjualan di pasar Pakan Kamih, Tilatang Kamang, Bukittinggi.

Untuk ketupat rasanya dimana-mana pasti akan sama, beras yang dimasukkan kedalam anyaman daun kelapa berbentuk belah ketupat yang kemudian direbus hingga matang, yang menjadikan makanan ini khas yaitu gulainya menggunakan rebung. Jika ingin, bisa minta dicampur dengan kuah kacang. Pilihan mie untuk dicampurkan dengan ketupat ada dua jenis, mie kuning (bentuknya petak pipih bukan bulat) dan mihun yang sudah dibumbui terlebih dahulu.

Berhubung saat ini sedang libur lebaran, ketupat Uni Teti ramai pembeli. Ada tiga buah bangku panjang disana, saya harus makan berdempetan dengan pembeli yang lain. Sambil mendengarkan riuhnya suara tawar menawar antara pembeli dan penjual yang sedang berinteraksi di pasar.

08 Juli 2016
Pisang Kapik Jam Gadang



Pisang kapik Jam Gadang sudah ada sejak tahun 1986. Lokasi berjualannya tepat di depan Jam Gadang mengarah ke pasar.

Cara membuat dan penyajiannya pun sederhana. Pisang kapik yang berbahan dasar pisang kepok, dibakar hingga matang kemudian dikapik (digeprek) menggunakan alat pengapik. Pisang kapik yang sudah mamar tadi dimakan bersamaan dengan inti kelapa. Inti kelapa sendiri terbuat dari parutan kelapa yang dicampur dengan gula aren dan bahan-bahan lainnya kemudian dimasak hingga bumbunya tercampur rata.

Suasananya yang membuat pisang kapik ini menjadi cemilan hits di Jam Gadang. Terlebih saat libur lebaran, saya harus sabar menunggu antrian. Sewaktu saya menunggu, bapak-bapak yang juga menunggu pesanannya turut membantu mengipas pisang yang sedang dibakar. Mungkin si Bapak geregetan karena sudah terlalu lama menunggu. “Saya membeli untuk anak saya yang pulang dari rantau”, kata pria yang umurnya kurang lebih 50 tahun ini.

Dalam dinginnya cuaca sore menjelang malam, saya duduk pada salah satu bangku yang telah disediakan disekiran Jam gadang, sambil menikmati pisang kapik panas diantara ribuan wisatawan lokal dan beberapa wisatawan mancanegara. Pemerintah kota Bukittinggi benar-benar pandai memanjakan wisatawannya. Sebagai salah satu kota wisata, memang sudah sepantasnya fasilitas yang berkaitan dengan kenyamanan pengunjung terpenuhi agar meninggalkan kesan nan manis.


Keterbatasan waktu, membuat saya dan keluarga tidak dapat mencicipi semua makanan khas di kota ini. Mungkin, mudik berikutnya akan saya bahas lagi makanan khas lain yang tak kalah nikmatnya, hehe..

Sabtu, 09 Juli 2016

Sekelebat Persoalan Mudik


Masih teringat jelas 3 tahun yang lalu, saat saya masih menjadi mahasiswa salah satu Universitas kece di Pekanbaru - Riau.

Bukan tentang menjadi mahasiswanya. Ini tentang mudik saat masih menjadi mahasiswa.

Tiga tahun yang lalu (tahun 2013), saat mudik, saya dicecer pertanyaan "kapan wisuda" oleh nenek dan beberapa orang saudara yang (kelewat) peduli.

Pertanyaannya wajar. Sungguh. Tapi, bagi seorang mahasiwa tingkat akhir itu adalah sebentuk pertanyaan horor. Saya lebih milih mendapat dosen pembimbing yang killer ketimbang ditanyain melulu soal kapan wisuda.

Untuk hitung-hitungan waktu wisuda, saya termasuk kelompok mahasiswa telat diwisuda. Masuk tahun 2009 tamat 2014. Wow! Betah bener 5 tahun menimba ilmu? Engga juga sih.. Tentang keterlambatan, banyak hal yang menjadi faktornya.

Mudik 2014. Saya sudah menjadi Sarjana Ekonomi alias SE, dong.

Lagi-lagi ada pertanyaan yang saya sendiri sudah tahu akan ditanya seperti itu. "Sudah dapat kerja?" Tenang.. Jawabannya sudah saya persiapkan, kok. "Saya masih ingin santai dulu sebelum kerja". Ok ngga tuh ngelesnya?

Mudik 2015. Sudah jadi sarjana dan sudah kerja.

Waini! Seolah tak bosan bertanya, atau memang mudik itu syarak akan pertanyaan yang harus dijawab pasti.  Pertanyaan yang (mungkin) semua orang dengar setelah menjadi sarjana dan sudah mendapat pekerjaan, "sudah ada calon?".

Waktu itu saya sudah punya pacar, tapi belum pantas disebut calon. Anggap saja calon, jadi pertanyaan saudara-saudara sekalian saya jawab dengan "sudah". Selesai.

Mudik 2016. Tahun ini dong?

Ya. Mudik kali ini lebih berisik. Bukan lagi pertanyaan, melainkan tawaran. Tawaran apa? Cekidot..

Katanya begini "kok utak alah santiang, kok karajo alah elok, kok umur alah cukuik". Saya terjemahkan "otaknya udah pintar (secara sarjana), kerjanya udah bagus (bagi orang kampung kerja di Ibu Kota itu gajinya besar -- amin), umur juga udah cukup (untuk berumahtangga)"

Lalu pertanyaannya "kapan nikah?"

(Tarik nafas dalam-dalam, keluarkan perlahan) huuufftt! Saya belum siap untuk pertanyaan tersebut. Kali ini saya mudik dalam keadaan single a.k.a jomblo, jelas high quality jomblo.

"Jodohnya belum kelihatan". Ngejawabnya sambil mesem-mesem lho. Dan mulailah tawaran demi tawaran diutarakan.

Sepupu ibu saya -- biasa disapa Bundo, memulai cerita saat saya dan keluarga bersilaturahmi kerumahnya. Ketika saya membantunya menyiapkan soto untuk dihidangkan, dengan hati-hati Bundo bertanya perihal siapa lelaki yang sedang dekat dengan saya. Untuk saat ini saya memang ada dikenalkan dengan seorang lelaki, belum beranjak statusnya dari pertemanan.

Bundo kembali bercerita mengenai sepupu saya yang seorang dokter bersuami seorang Akabri. Suami sepupu saya mempunyai seorang teman yang sedang mencari jodoh (dia ingin cari yang bersuku minang). Katanya sih gitu.

Bagi saya tidak ada masalah soal jodoh menjodohkan. Masalahnya adalah jika saya cocok, apakah dia juga sepaham dengan saya? Atau sebaliknya, jika dia cocok, apakah hati saya demikian kepadanya?

Kali ini saya ditutut harus bijak. Bijak dalam artian, sebelum mengiyakan yang saya tidak tahu kedepannya bagaimana, lebih baik saya jawab "boleh, tapi kasih waktu untuk saling kenal terlebih dahulu".

Bagi orang-orang di kampung, wanita berumur 25 tahun sudah masuk kategori wanita telat menikah. Jujur. Saat ini saya belum begitu peduli. Bukan tidak mau, jika diberi jodoh, saya tidak akan menunda. Tidak peduli yang saya maksud, jodoh bukan hal seberapa cepat (umur berapa) tapi seberapa tepat (dengan siapa).

Mudik dan sekelebat pertanyaannya punya kesan tersendiri. Saya anggap tiap pertanyaan adalah sebentuk kepedulian yang bermuara pada doa.

Minggu, 03 Juli 2016

Adipura oh Adipura


Waktu menunjukkan pukul 22.50 tanggal 1 Juli 2016, malam ini saya kembali menginjakkan kaki di kota kelahiran saya.

Pekanbaru kota bertuah. Bertuah adalah singkatan dari bersih, tertib, usaha bersama, aman dan harmonis. Kota yang pada siang hari suhunya bisa mencapai 36 derajat celsius lebih ini langganan mendapat Piala Adipura, artinya kota kelahiran saya terbersih dibanding beberapa kota di Indonesia.

Sejak tahun 1990-an (saya belum lahir) Pekanbaru telah mencatatkan namanya sebagai kota terbersih, namun sempat alfa pada tahun 2000-an. Dibawah kepemimpinan walikota Herman Abdullah tahun 2005, Pekanbaru kembali menata diri, dan berhasil memboyong Piala Adipura hingga tahun 2011. Nasib berkata lain tahun 2012 (peralihan kepeminpinan), Piala Adipura gagal diperoleh, dan kembali disabet tahun 2013-2014.

Suatu kebanggan dibesarkan pada kota yang menjujung tinggi nilai-nilai kebersihan. Pemerintah, masyarakat dan pasukan oranye (dahulu pasukan kuning)  -- selaku pekerja yang turun langsung ke lapangan, bersinergi untuk mempertahankan gelar adipura itu.

Tidak ada onggokan sampah di pinggir jalan, gunungan sampah di TPA, bahkan daun gugur pun disapu bersih. Meskipun dibawah terik matahari, saya masih merasakan kesejukkan, ya kesejukkan mata.

Walikota dengan masa jabatan dua periode, berhasil mempercantik kota kecil nan panas ini. Saya ingat betul, semasa jabatan Bapak Herman Abdullah, pagi-pagi saat berangkat ke sekolah dari SMP hingga SMA, pasukan kuning sudah membuat gundukan sampah yang siap diangkut oleh petugas pengangkut sampah dengan mobil bak bewarna kuning.

Baru beberapa bulan saya tidak pulang, ternyata kota kelahiran saya banyak mengalami perubahan. Kali ini perubahannya mengalami kemunduran, saya bilang ini kemunduran pesat.

Pagi ini (2 Juli 2016) saya mengendarai mobil dari rumah ke arah kota, rumah saya berjarak sekitar 10 km dari pusat kota. Karena banyak tujuan yang akan dituju, sehingga perjalanan kali ini melewati beberapa jalan besar di pusat kota.




Saya kecewa melihat apa yang saya lihat, berharap yang terlihat hanyalah ilusi semata. Masih percaya dan tidak percaya dengan apa yang saya lihat saat ini, kota yang tadinya mendapat gelar Adipura seolah bosan akan gelar yang sudah dipertahankan selama beberapa tahun ini. Gundukan sampah terlihat didepan ruko nyaris mengenai pinggiran jalan, dan ironisnya setiap 10 meter saya melihat pemandangan yang sama. Sepertinya sampah itu sudah ada beberapa hari, menumpuk dan tak ada yang mengangkut.

Simpang siur alasan mengapa sampah-sampah tersebut tak diangkut beragam. Salah satunya swastanisasi pasukan oranye, yang dahulu diurus langsung oleh pemerintah (Dinas Kebersihan) kini dialihkan ke sektor swasta. Namun, karena pengelola swasta tidak dapat mencapai targetnya, alhasil pemerintah memutuskan kontrak kerja.

Sektor swasta yang menangani sampah di Pekanbaru ini akhirnya collapse, sebanyak 350 orang pekerja dirumahkan. Tersiar kabar, karyawan yang dirumahkan belum menerima gaji selama dua bulan, janji demi janji mereka tunggu, saat dibayarkan mereka hanya menerima selama 25 hari kerja. Miris.

Secara langsung kurangnya pasukan oranye sebanyak 350 orang ini berdampak buruk bagi kebersihan kota Pekanbaru. Bayangkan saja, dengan jumlah pasukan oranye yang menyusut, serta armada yang sedikit, apa mungkin bisa mengatasi masalah sampah yang tidak bisa dibilang sedikit? 

Wajar saja pemandangan sampah yang saya lihat di jalan-jalan besar saat ini, sungguh memprihatinkan.

Untuk siapa yang salah dan siapa yang benar tidak akan saya bahas, kebersihan bukan perkara main-main, ini tanggung jawab semua pihak. Masyarakat diharapkan paham akan menjaga kebersihan lingkungannya, sementara pemerintah menjadi fasilitator menggerakkan petugas kebersihan untuk mengangkut sampah-sampah yang ada. Jika semua ini berjalan sebagaimana mestinya, Piala Adipura pasti akan betah berlama-lama di kota ini.

Mungkin tahun ini Pekanbaru kembali alfa gelar. Saya harap kealfaan ini tidak ada korelasinya dengan adanya peralihan kepemimpinan. Meskipun sempat tidak mendapat Piala Adipura tahun 2012, pemerintahan yang baru berhasil mengambil alih piala di tahun 2013-2014. Lantas apakah puas dengan itu saja?

Ini bukan tentang Piala Adipura yang selalu berhasil diboyong setiap tahun, ini tentang komitmen dan kesadaran akan kebersihan itu. Sesungguhnya kita hanya butuh menjaga dan mempertahankan, karena kebersihan adalah syarat mutlak untuk lingkungan yang nyaman dan asri.