Sabtu, 18 Juni 2016

Ramadhan 1437 H dan Ibu Kota

Hari ini 12 Ramadhan 1437 H, lebih kurang 224 hari saya berada di Ibu kota. Tanggal 2 November 2015, saya mengambil langkah panjang meninggalkan kota kelahiran menuju ibu kota, dengan tujuan mencari pekerjaan yang sesuai dengan passion. Berbekal ilmu yang cukup serta dukungan orang terkasih -- keluarga, harapan yang besar, akhirnya saya diterima pada salah satu perusahaan IT sebagai karyawan bagian keuangan.

Ini kali pertama melewati Ramadhan jauh dari keluarga, rumah, dan teman-teman. Keluar dari comfort zone bukan perkara gampang. Tahun lalu saya masih merasakan euphoria Ramadhan bersama keluarga dan teman-teman. Bangun dini hari untuk santap sahur bersama keluarga, dengan mata sayu dan mulut tak henti menguap, menyantap hidangan sederhana dengan lahap. Atau berkoordinasi dengan teman-teman, menetapkan hari dan tempat untuk buka puasa bersama, sembari reunian.

Hmm... 

Tahun ini penuh sensasi dan tantangan, di kota yang tak pernah tidur. Menarik.

1 Ramadhan dikalender Hijriah, hari Senin dikalender Masehi -- Indonesia. Menandakan Senin dini hari adalah sahur pertama untuk umat muslim yang menjalanjkan ibadah puasa di Indonesia. Karena pada tiap akhir pekan saya selalu ke Parung, rumah pakwo -- panggilan untuk kakak laki-laki dari ibu, saya putuskan untuk santap sahur pertama disini. Tidak terlalu buruk untuk awal Ramadhan, saya masih merasakan kehangatan keluarga, hehe.

(Kembali ke Ibu Kota)

Senin yang malas, untuk puasa pertama yang harusnya dilalui dengan semangat. Ya, dengan perjuangan menahan kantuk, melewati Senin dengan bekerja. Biasanya usai kerja pukul 17.00, selama Ramadhan saya pulang 30 menit lebih awal, dikarenakan harus menyiapkan makanan untuk berbuka. Jangan coba-coba jajan sembarangan di Jakarta, alih-alih ingin makan enak dan tak mau repot, malah penyakit yang didapat. Jangan.

Melakukan rutinitas yang sama dari Senin hingga Jumat. Bangun pukul 03.00 untuk santap sahur, tidur beberapa jam setelah subuh, bangun kembali dan bersiap untuk kerja, pulang kerja lalu berbuka, terakhir tidur, sesekali bila ingin menikmati jalanan ibu kota dimalam hari. Sekedar duduk sambil bercerita di taman kota, atau mencari sesuatu untuk dibeli.

Jumat adalah hari yang paling dinanti, tak sabar ingin kembali ke Parung. Guna menghindari arus padat jalanan ibu kota, saya pulang kerja lebih awal, yakni pukul 15.30, agar bisa bersiap dan berangkat pukul 16.00.

Kosan saya di daerah Kebon Jeruk Jakarta Barat. Menuju ke Parung, saya harus melewati beberapa daerah rawan macet seperti Jalan Panjang, Permata Hijau, Pondok Indah Mal, Lebak Bulus, dan Ciputat. That's a really fabulous trip! Harusnya untuk jarak tempuh 36 km hanya butuh waktu lebih kurang 1 jam, kenyataannya ditempuh dalam waktu 2 jam 45 menit. Ini ukurannya menggunakan sepeda motor lho.. Bayangkan aja jika menggunakan mobil.

Ya, saya lebih sering ke Parung menggunakan sepeda motor. Bersama teman satu kos saya, Bella. Menjadi veteran jalanan adalah hal biasa bagi kami. 

Waktu menunjukkan pukul 16.40, tak ada Jakarta yang tak macet. Betul! Kami masih berada diantara kemacetan daerah Pondok Indah Mal. Puasa diartikan menahan lapar, haus, hawa nafsu dan sebagainya, tetapi tidak untuk menahan keinginan berkendara sepertinya. Mau itu mobil buatan eropa atau jepang, motor buatan Cina atau Indonesia, dijalanan kita sama, sama-sama manusia yang terjebak kemacetan, sama-sama ingin selamat sampai tujuan, dan sama-sama menunggu waktu berbuka -- jika memungkinkan berbuka ditempat yang akan dituju.

Tak terasa sudah pukul 17.15, 33 menit menjelang waktu berbuka puasa. Saya masih berada dijalan Lebak Bulus menuju Ciputat. Di lampu merah dan underpass sudah terlihat para pedagang menjejeli dagangan mereka. Kebanyakan berjualan minuman kemasan, beberapa berjualan gorengan atau roti. Hmm, Jakarta dengan segala ke'ada'annya macam toserba -- toko serba ada. Pedagang mulai mendekati satu persatu kendaraan yang terjebak macet, dari kendaraan satu ke kendaraan lainnya, berharap dagangan habis terjual, layaknya harapan dalam sebuah kesabaran.

Meskipun sudah menunjukkan pukul 17.38 yang tandanya 10 menit lagi akan beduk magrib, hiruk pikuk masih terlihat di jalan raya Bojong Sari. Saya dan Bella memutuskan untuk berhenti sejenak membeli minuman buka puasa. Di kota kelahiran saya, aktifitas bisa terlihat berhenti sejenak seketika beduk magrib, ada juga sih yang berlalu lalang, tapi bisa dihitung pakai jari. Hei.. Ini Jakarta. Lupa? Yang tak bisa jadi bisa, yang tak ada jadi ada, yang tak mau jadi mau, tak ada yang tak ada. Terserahlah.

Ibu kota dengan segala keunikannya, kota keras dengan berjuta keramahan, walau kebanyakan oplosan. Saya menikmati. Jakarta :)

Diketik pada 17 Juni 2016, 12 Ramadhan 1437 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar